Rabu, Oktober 22, 2008
Obrolan di Ujung Gerbong
Aku tidak mau mengingatnya lagi. Tapi dia muncul sekilas di benakku, seakan dia telah berada di sisiku. Makanya aku beranjak kemudian duduk berdiam disini, agar aku bisa menghirup udara lepas dengan bebas, agar aku bisa melihat jelas kebelakang.
Aku tidak pernah melihat foto itu lagi. Foto itu sengaja kusimpan di sela-sela bagian dompet usang ku ini. Aku masih ingat dengan jelas tentang dompet itu. Kubeli disebuah mal, ketika aku berkunjung kesebuah kota yang penuh kemacetan pada tahun, 2003. Dompet kulit ukuran sedang, dengan warna hitam gelap, tanpa resleting, jika ingin memasukkan uang kedalamnya harus dilipat dua dulu baru bisa masuk dengan sempurna.
Aku memang tidak mau mengingatnya lagi. Tapi meski sudah ku hapus, semakin ku hapus, semakin jelas teringat dan tersimpan dalam memori otakku. Aku paham, kalau masa lalu memang tidak bisa di usir pergi ataupun di hapus begitu saja. Aku hanya bisa memahami dan mengambil setiap makna yang hadir dari masa lalu itu. Dan itulah yang telah terjadi saat ini.
***
Setiap kali aku berada di atas kereta ini, aku selalu bertemu dengannya. Dia selalu menatap padaku, seolah-olah dia telah mengenalku dengan baik. Aku tidak tahu dia naik dimana dan dia akan turun di stasiun apa. Aku tidak pernah menanyakan hal itu padanya, walaupun kita sudah berulang-ulang kali bertemu dan saling berbincang-bincang tentang hal-hal yang kadang-kadang tidak terlalu penting untuk dibahas.
Dia, selalu kutatap bening kedua bola matanya. Sorot mata yang sedikit nakal, rasa ingin tahu terpancar dari mata itu. Kadang mata itu terlihat sendu namun indah.
"maaf, boleh kita bicara?"
“Iya, boleh, ada apa?" jawabku datar
"Apakah kamu sedang bersedih?" tanya dia
“tidak, cuma sedang ingat sesuatu” jawabku
Ia pun mengangguk-angguk kecil.
“kamu sedang ingat kekasihmu?”
Aku cuma mengelengkan kepala pelan
“atau kamu sedang ingat temanmu, ibumu, ayahmu, binatang peliharaanmu, atau mungkin ada sesuatu yang tertinggal?”
dia bertanya bertubi-tubi dengan sedikit senyum seolah-olah ingin meghiburku.
Kembali aku mengelengkan kepala, pelan
“O, ya, boleh aku tahu, kamu punya ayah?" Dia kembali bertanya
“Ya, aku punya, tapi kita sudah lama tidak bertemu, kita berjauhan dan selalu berjauhan”
“Lalu bagaimana dengan mu” aku balik bertanya
“tidak, aku tidak punya, aku tidak pernah melihatnya”
jawaban itu membuatku sedikit terdiam.
“Aku tidak tahu dia ada dimana, Aku juga tidak tahu apakah kita sedang berjauhan atau kah sedang berdekatan”
Aku tahu, ia sedih dengan keadaanya, dan aku merasakan itu.
“Aku merindukan seorang ayah, aku ingin merasakan, bagaimana memiliki seorang ayah”
“Tapi bagaimana caranya, di mana bisa kucari. Aku tidak bisa mendapatkannya di toko, di kios-kios dipinggiran stasiun ataupun di supermarker. Mereka tidak menyediakannya ataupun menjualnya. Tidak juga di acara amal atau acara sosial yang sengaja membagi-bagikannya kepada yang tidak punya”
Tiba-tiba dia sudah berlalu, dan menghilang di keramaian gerbong.
***
Hampir dua setengah tahun aku menggunakan jasa kereta api ekonomi walaupun sekali-kali aku naik kereta api bisnis dan itupun sesuai dengan suasana hati dan keadaan. Minimal sebulan sekali aku merasakan nikmatnya perjalanan dengan alat transportasi masal itu. Aku sering menceritakan pada teman-teman tentang enaknya berpergian dengan kereta api. Kereta api yang sedikit kotor, penuh sesak dan tidak pernah berhenti dari keramaian. Disana aku bisa melihat bermacam-macam jenis, bentuk, dan karakter orang serta pekerjaanya, Tidak jarang juga aku melihat peristiwa aneh, menyenangkan, menyedihkan dan juga mengecewakan.
***
Aku pun jadi semakin sering bertemu dengannya, walau kadang hanya sebentar, kadang hanya sekedar mengucapkan sepatah kata. Dia tidak pernah menanyakan kemana tujuannku, dia tidak pernah menanyakan apa pekerjaanku. Kita selalu bertemu ditempat yang sama, yaitu gerbong terakhir dari rute perjalanan di tiap akhir pekan. Jakarta – Yogya – Jakarta.
***
Ini adalah tahun kedua aku tidak lagi pernah menaiki kereta api itu. Ini adalah tahun kedua aku tidak lagi berada di kota itu, dan tahun kedua pula aku tidak lagi berkunjung ke kota yang sebulan sekali aku datangi. Dan ini merupakan tahun kedua aku tidak bertemu dengannya di ujung gerbong kereta api usang yang penuh debu dan kotoran itu.
Aku masih ingat obrolan ringan terakhir dengannya. Ya, tentang seorang ayah dan selembar foto usang yang terselip di sela-sela dompet yang tak lagi baru.
***siapa dia, mengapa aku, lalu dimana dia, jangan lagi tanyakan...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar