Rabu, Februari 06, 2008

Peranan Teknologi Dalam Kemajuan Teknologi


Benturan Peradaban Manusia dengan Mega Machine


Dalam ilmu-ilmu sosial di masa sekarang, sebagaimana dalam dunia sosial sendiri, kita (baca: manusia) selalu dihadapkan kepada sebuah agenda baru. Setiap manusia tahu bahwa kita berada disaat terakhir tidak hanya dari sebuah abad namun manusia berada di ambang waktu terakhir dari sebuah milenium: sesuatu yang tidak memiliki isi namun sepenuhnya bersifat arbitrary-sebuah tanggal dalam kalender dan mengandung kekuatan reifikasi yang mengurung kita dalam mesin perbudakan (Giddens: 1994, pg 7). Masyarakat dimesinkan secara total dan menyeluruh, dicurahkan seefektif mungkin untuk meningkatkan daya produksi dan konsumsi material melalui sistem mekanisasi. Dalam hal ini manusia inheren dengan mesin-mesin, tanpa perasaan, dan cenderung pasif. Candu global ini muncul ketika relasi yang terbangun melalui perasaan-perasaan (antar manusia) diatur oleh instrumen-instrumen yang dinamakan teknologi. Pun dalam hal ini Zhigniew Brzezinski menulis:

"Nampaknya masyarakat teknokratik cenderung bergerak dari jutaan warga dunia yang tak terkoordinir pada penyatuan kesadaran individu. mungkin bagi pribadi-pribadi yang menarik dan mempesona dapat secara efektif mengeksploitasi teknik-teknik komunikasi mutakhir untuk memanipulasi dan memberikan ilusi emosi-emosi dan rasio control".[1]

Sejarah Manusia dengan Ilmu Pengetahuan

Bagaimana manusia bisa dibelenggu oleh sistem yang ia ciptakan sendiri? Bagaimana seorang manusia tanpa ampun memproduksi serta mengkonsumsi banyak instrumen tanpa tujuan yang jelas sama sekali? Ironis, dilematis, akut dan cenderung menuju kepada arah destruktif. Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengetahui keadaannya dan lingkungannya, serta menyesuaikan diri dengan lingkungannya, atau menyesuaikan lingkungannya dengan dirinya dalam upaya strategi hidupnya. Sebelum memasuki perdebatan relasi antara manusia-ilmu pengetahuan-teknologi ada baiknya saya memberikan pemaparan sedikit tentang apa itu ilmu pengetahuan/ sains.

Dalam makna generiknya, ilmu pengetahuan selalu dikaitkan dengan usaha manusia untuk mencari tahu tentang suatu fenomena. Cara mencari tahu ini tidak lepas dari proses pemaknaan manusia terhadap fenomena tersebut. Dari pemahaman inilah dibentuk sebuah sistem pengetahuan yang meliputi objek pengetahuan, metode, dan model interpretasi (pemahaman). Pada dasarnya, inti dari suatu sistem pengetahuan adalah aktivitas representasi di mana pengamat (saintis/ ilmuwan) menginterpretasi gejala-gejala alam yang kemudian dimodelkan ke dalam bahasa sains (yang dalam sains modern menggunakan model matematika). Satu hal yang perlu dicermati disini suatu objek pengetahuan hanya dapat eksis melalui representasi. Proses interpretasi dan representasi ini tidaklah terjadi begitu saja secara objektif di mana saintis dengan serta merta ‘menemukan' sesuatu seakan-akan objek pengetahuan itu sudah ada sebelumnya. Objek pengetahuan itu adalah hasil konstruksi interpretatif saintis melalui bahasa sementara bahasa itu sendiri memiliki keterbatasan. Obyek pengetahuan itu menjadi seakan-akan nyata karena dia berhubungan langsung dengan sesuatu yang sifatnya konkrit di mana metodologi ilmiah (logika-empirisme) memungkinkan terjadinya perulangan realitas (regularitas) melalui praktek simulasi, manipulasi, dan kontrol.

Dalam paper ini saya ingin mengangkat sedikit nukilan atas Sosiologi Ilmu Pengetahuan/ Sains dari pemikir  Robert Merton dan Ben David. Gagasan mereka terletak pertama pada realisme, yakni suatu bentuk keyakinan bahwa manusia berada/ tinggal pada dunia yang dihuni oleh objek-objek riil dan kebenaran yang dibangun oleh ilmu pengetahuan memiliki relasi langsung dengan realitas dunia ini. Kedua ialah objektifitas dimana mereka (baca: Merton dan Ben David) memiliki keyakinan-keyakinan bahwa fakta-fakta objektif mengenai realitas dunia ini hadir dan bebas dari pemaknaan manusia. Dari nukilan diatas, Merton dan Ben David mengasumsikan proses sains sebagai proses akumulatif dan tumbuh secara terus menerus dalam mencari kebenaran secara linear[2]. Selain itu, pengetahuan yang dihasilkan oleh sains lepas dari konteks produksi dan kondisi reproduksi dan distribusinya[3]. Ketika manusia memasuki fase masyarakat pra-ilmiah, pengetahuan diperoleh secara turun temurun (heritage) lalu diteruskan dengan eksperimen dan logika. Ilmu-ilmu dasar tidak dibatasi oleh ruang dan waktu daripada yang tergantung pada lingkungan dan zaman (sifatnya lebih universal). Fase dimana manusia memasuki tahap masyarakat ilmiah segala problema ditempuh dengan cara pendekatan ilmiah, baik untuk saat ini maupun problema yang akan muncul di masa depan. Ilmu pengetahuan memberikan serta memiliki treatment tersendiri ketimbang ilmu-ilmu supranatural, mitologi, mistik, yakni memajukan pertanyaan-pertanyaan kecil dan dengan memperoleh jawaban maju selangkah demi selangkah (F. Jacob: 1982). Itu artinya ilmu pengetahuan berkembang secara dinamis sesuai dengan evolusi kemajuan ilmu pengetahuan.

Perkembangan ilmu pengetahuan memang terbatas ketika kemampuan rasio dan akal manusia terbatas pula, sehingga belum semuanya permasalahan duniawi ini mampu terpecahkan secara sempurna. Alat analisis serta model-model disederhanakan sesuai dengan realitas yang berkembang. Namun melihat perkembangan ilmu pengetahuan dalam dua abad terakhir ini boleh dikatakan manfaatnya bagi manusia sangat besar. Seiring dengan pola perkembangan masyarakat global, kebutuhan akan ilmu pengetahuan dirasakan sangat penting khususnya bagi eksistensi umat manusia. Manusia kian modern dan menyatu dalam entitas yang dinamakan masyarakat modern. Masyarakat modern adalah masyarakat yang represif tanpa ampun-meskipun sebagian orang, tampaknya, menganggap sebagai masyarakat liberal. Dalam pandangan seorang Herbert Marcuse masyarakat modern tampak sekedar sebagai seperangkat instrument yang terkandung dalam ilmu, kemajuan teknologi atau hal lain yang terlahir dari dasar keimanan era Pencerahan atas Nalar, Pengetahuan dan Kemajuan. Penerimaan dan konformisme atas status quo secara perlahan-lahan namun pasti yang dipaksakan oleh masyarakat modern, adalah suatu bentuk rezim totalitarianisme. Sangatlah sulit bagi individu-individu manusia untuk berjarak secara kritis terhadap permasalahan ini, dan Marcuse mengkategorikan mereka sebagai Manusia Satu Dimensi (One Dimensional-Man)[4]. Disinilah persoalan semakin besar , rumit, dan berbahaya (bahkan menjadi urusan bagi setiap orang).

Pergeseran Peran antara Manusia dan Teknologi


Dalam masyarakat kapitalis-lanjut teknologi cenderung memainkan fungsi dan peranan tersendiri terutama bagi kepentingan elit tertentu. Kepentingan elit tertentu (baca: tirani minoritas) memiliki ekses yang cukup besar bagi mayoritas kelas yang lain misalnya kelas pekerja maupun sub-altern; suatu megamachine (mesin raksasa) yang eksploitatif, berorientasi profit, tidak demokratis, a-moral, tidak manusiawi, dan nonkonservasionis (Schumacher: 1979:41). Dimana awalnya kemunculan ilmu pengetahuan menciptakan teknologi yang meringankan beban manusia, yang akan menyelamatkan harta benda, simbol kebudayaan, identitas sebuah bangsa-masyarakat namun seketika menjadi bumerang ketika teknologi memasuki logikanya sendiri, tumbuh bak parasit-tumor jinak-kanker akut dan akhirnya mengancam sistem struktur sendi-sendi kehidupan individu dari sebuah masyarakat Bahkan menciptakan ‘penyakit ganas' didalam masyarakat.

Gagasan Merton dan Ben David diatas yang telah saya paparkan ternyata terlalu idealis untuk diimplementasikan dalam kehidupan saat ini. Ketika konsep ketiadaan kepentingan dan gagasan otonomi yang dilontarkan oleh mereka cenderung sulit diterima. Melihat situasi artifisial-utopis tersebut seorang pemikir lain T. Lenoir menyatakan bahwa pengetahuan yang dihasilkan oleh sains selalu inheren dengan konteks sosio-historis dimana suatu manusia (bahkan masyarakat) berada. Bagi Lenoir seperti yang dijelaskan di atas, pengetahuan adalah suatu bentuk pemahaman yang melibatkan ikatan terhadap dunia yang bersifat sementara, bukan proses reflektif yang lepas dari berbagai konteks[5]. Dengan demikian adalah logis jika mengatakan bahwa pengetahuan sudah tentu sarat akan berbagai kepentingan. Ini bisa dilihat dari produksi pengetahuan sebagai suatu praktek kultural. Dalam proses pengetahuan, saintis tidak bisa dilepaskan dari dua faktor yang melingkupinya, yakni unsur kognitif dan sosial sebagai konsekuensi atas keberadaanya sebagai manusia berfikir dan berinteraksi. Faktor kognitif dan faktor sosial inilah yang mempengaruhi secara kuat proses pemahaman saintis terhadap suatu objek pengetahuan. Melalui faktor kognitif, saintis melakukan pengamatan terhadap suatu objek secara interpretatif. Sementara dalam faktor sosial, saintis selalu terhubung dengan kerangka sosial ekonomi di mana dia berada. Dari dua faktor ini, Lenoir berkesimpulan bahwa konstruksi pengetahuan dapat dikatakan sebagai suatu upaya untuk memberikan legitimasi dan justifikasi suatu versi realitas yang diterima oleh kelompok sosial dimana saintis itu berada. Dari analisis konstruksi pengetahuan secara mikro, Lenoir melanjutkan analisisnya ke tahap makro.

Pada tahapan ini, Lenoir memperlihatkan bagaimana perkembangan sains dikelilingi oleh kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi, dan politik secara lebih luas. Dalam analisisnya, sains mengalami friksi-friksi atas berbagai disiplin yang saling berhadapan satu sama lainnya. Setiap disiplin memiliki sistem logika dan model institusi serta struktur kekuasaan masing-masing. Di sini bisa dilihat bahwa relasi antara kekuasaan dan pengetahuan yang berada dalam disiplin tersebut. Tetapi struktur kekuasaan disiplin-disiplin tersebut tidaklah otonom melainkan tunduk pada kekuasaan yang lebih besar, yakni kekuasaan ekonomi dan politik. Dan di sinilah letak seluruh agenda sains dibuat (seakan-akan) atas nama kebenaran ilmiah. sehingga manusia sendiri yang dijadikan sebagai objek dari ilmu pengetahuan dan teknologi. pada awalnya sejarah manusia menaklukkan alam dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi namun manusia lupa bahwa manusia bagian dari alam itu sendiri dan turut terkuasai oleh teknologi. Teknologi menjadi kian otonom membiakkan dirinya yang dikelola demi kepentingan tertentu dan keberadaan manusia yang tidak memiliki mesin-mesin produksi menjadi usang. Pengangguran, kemiskinan, marginalisasi suatu etnis-suku, mereka yang kehilangan identitas menjadi contoh terbesar dari abad keabad. Pun keberadaan teknologi banyak disalahartikan ketika invasi Amerika Serikat kepada Irak awal tahun 2003 untuk menemukan dan membuktikan kepada masyarakat dunia bahwa Irak memiliki senjata biologis yang akan menghancurkan eksistensi umat manusia ternyata tidak terbukti. Kepemilikkan senjata nuklir oleh Korea Utara banyak ditentang oleh negara-negara adidaya sebagai salah satu wujud kecemasan atas simbol kekuasaan yang selama ini di pegang oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

Teknologi menciptakan sumber kekuasaan baru yang seperti saya lontarkan diatas akan tunduk kepada simbol-simbol kekuasaan yang lebih besar yaitu ekonomi-politik, keberadaan jihad (gerakan-gerakan Islam radikal)-terorisme yang dilakukan oleh Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Laskar Jihad, Hamas dianggap sebagai ancaman terbesar oleh barat, terlebih lagi kelompok-kelompok radikal garis keras ini memiliki alih teknologi yang cukup tinggi dalam melancarkan aksinya. Kesenjangan antara timur dan barat-negara maju dan Negara berkembang dan bahkan mempersoalkan arti ˜kemodernan' dan modernisasi itu sendiri menjadi ruang yang masih diperdebatkan hingga saat ini.

Adapun di negara-negara dunia ketiga yang semakin lama tergerus oleh teknologi yang tidak manusiawi side effect akan nampak dalam (T. Jacob: 1987, 70-71):

1 . Penggeseran atau penggantian manusia menuju kepada instrument-instrumen teknologi,
2. Kebebasan terkekang,
3. Kepribadian terhimpit (manusia menjadi massa yang uniform),
4. Dehumanisasi,
5. Mentalitas teknologis (fetitisme terhadap teknologi),
6. Penyeimbangan kembali yang tidak adaptif,
7. Krisis teknologis (seperti technostress yang menunjukkan patologi sosial),
8. Dampak dalam lingkungan.

Menuju Masyarakat Teknologi yang Manusiawi

Krisis manusia modern adalah cara untuk hidup dalam upaya menyelamatkan diri, lalu apakah mungkin untuk memanusiawikan masyarakat teknologis ini. Manusia dihadapkan pada perubahan yang fundamental, karena manusia bagian dari alam sehingga terlibat langsung dalam proses evolusioner. Tesis World Perspectives (Perspektif-Perspektif Dunia) mencoba melihat manusia berada dalam posisi proses mengembangkan suatu kesadaran baru yang dapat menjunjung tinggi manusia untuk mengatasi problema ketakutan, kesepian, ketidaktahuan (Fromm: 1996, 159). Jika manusia belajar mengaplikasikan pengetahuannya tentang alam semesta untuk tujuan dan maksud praktis, hal ini tak lain adalah sebuah upaya besar dari manusia untuk belajar berkreasi dan memperbesar kemampuannya dalam berpikir. Dalam pembelajaran ini manusia menciptakan ‘manusia modern' melalui seleksi dan mutasi alamiah melalui proses evolusioner yang berkembang cepat dan memiliki tujuan tertentu. namun proses ini (yang melibatkan peran teknologis secara aktif) tetap proses coba-coba, penuh spekulatif yang mengorbankan manusia-manusia yang lain. Revolusi industri tahap pertama dan kedua adalah contoh nyata dari pemesinan masyarakat dan manusia dijadikan ˜partikel-partikel' hidup namun semu. Mengapa saya mengatakan semu? manusia-manusia yang dijadikan kaki tangan mesin (dalam hal ini partikel-partikel yang menjalankan roda mesin-mesin) mengalami hidup yang nyaman (seperti kehidupan di bawah alam sadar), karena kemewahan yang semu ini kelas pekerja (inilah letak kesalahan Marx dalam pemetaan an sich--fur sich) berpartisipasi dalam kemajuan ekonomi kapitalistik, juga memperoleh keuntungan disana (meskipun tidak sebesar pemilik modal). Inilah yang dikatakan oleh Sigmund Freud sebagai "libido" yang disebandingkan dengan penemuan fundamentalnya "ketidaksadaran" baik dalam keadaan terjaga maupun tidur yang dialami oleh manusia-manusia abad 21.

Disinilah Fromm mencoba mengangkat mengenai konsep revolusi harapan, ketika manusia dan masyarakat secara keseluruhan sadar merasa akan kebutuhan "optimistis" dan mengharap "kemajuan" lebih lanjut atas ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan secara komprehensif atas kehidupan sosial, ekonomi-politik, dan budaya masyarakat sehingga membangkitkan pertumbuhan dan menghidupkan manusia-manusia yang semu agar kapasitas-kapasitas teknologis melayani seluruh umat manusia. Â Perencanaan yang bersifat humanistik agar tidak membuat teknologi menjadi momok yang menakutkan. Manusia yang melakukan grand design atas perencanaan, sistem dan pengontrolan atas nama kepentingan umum, dan ini mejadi syarat mutlakb agi kesejahteraan manusia agar menjadi aktif. Menejemen birokrasi humanistik harus diciptakan agar manusia tidak di lempar-lempar. Dan inilah yang membuat Erich Fromm masih memiliki harapan akan kemungkinan riil bahwa manusia dapat mempertegas kembali dirinya dan menciptakan masyarakat teknologi yang manusiawi. Ini masih berujung pada taraf harapan-harapan yang kemungkinan besar masih dapat diperjuangkan Ketika pertanyaan-pertanyaan besar masih hinggap di kepala manusia dan manusia masih memiliki spirit untuk memperjuangkan harapan-harapan atas relasi yang lebih manusiawi antara masyarakat dengan teknologis (ilmu pengetahuan)

DAFTAR PUSTAKA

[1] ‘The Technetronic Society', Encounter, vol xxx, No 1, January 1968. pg 19
[2] Merton, R. (1973). The Sociology of Science, Chicago: The University of Chicago Press
[3] Ben-David, J. (1991). Scientific Growth: Essays on the Social Organization and Ethos of Science, Berkeley: University of California Press.
[4] Marcuse, Herbert. One Dimensional-Man Boston: Beacon Press, 1964
[5] Lenoir, T. (1997). Instituting Science: The Cultural Production of Scientific Disciplines, Stanford: Stanford University Press.

***

1. Ben-David, J. (1991). Scientific Growth: Essays on the Social organization and Ethos of Science, Berkeley: University of California Press.
2. Fromm, Erich (1996). Revolusi Harapan: Menuju Masyarakat Teknologi yang Manusiawi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar Offset.
3. Giddens, Anthony (1994). Living in Post-Traditional Society, Cambridge: Polity Press.
4. Jacob, T (1987). Manusia, Ilmu dan Teknologi: Pergumulan Abadi dalam Perang dan Damai, Jogjakarta: Tiara Wacana.
5. Lenoir, T. (1997). Instituting Science: The Cultural Production of Scientific Disciplines, Stanford: Stanford University Press.
6. Marcuse, Herbert. One Dimensional-Man, Boston: Beacon Press, 1964
7. Merton, R. (1973). The Sociology of Science, Chicago: The University of Chicago Press.
8. Schumacher, E.F. Good Work: Toward A Human Scale Technology. 1979
9. The Technetronic Society, Encounter, Vol xxx. No. 1 January 1968


Catatan:

Awalnya artikel ini saya temukan di sebuah rental komputer, Artikel ini diberi judul: PERANAN TEKNOLOGI DALAM KEMAJUAN TEKNOLOGI. Setelah saya baca ternyata isinya cukup menarik. Sayangnya, saya tidak menemukan nama penulis dalam artikel tersebut. Kemudian saya coba lacak di internet dengan keyword "Peranan Teknologi Dalam Kemajuan Teknologi" ternyata tidak ditemukan tulisan sejenis di google . Kemudian saya coba cari dengan menggunakan keyword "Benturan Peradaban Manusia dengan Mega Machine" di yahoo ternyata ditemukan disini. Dengan tidak berniat menyalahi aturan, hanya sekedar untuk menambah pengetahuan dan wawasan makanya saya copy-paste di blog ini.

Tidak ada komentar: