Jumat, Mei 07, 2010

Pelajaran dari Masyarakat Dayak



Para perempuan dewasa sedang menangkap ikan di sebuah sungai di tengah kebun sawit. Tiba-tiba seorang satpam mendatangi mereka lalu membentak dengan garangnya, "Tumpahkan ikan-ikan itu ke sungai! Kalian tidak punya hak untuk menangkap ikan di sini. Sungai ini bukan lagi milik kalian. Sungai ini milik perusahaan." Orang-orang itu menumpahkan ikan hasil tangkapan mereka. Sambil menahan kepiluan yang memukul-mukul dada, mereka pulang ke rumah masing-masing dalam kebisuan.

Cerita di bawah ini adalah sebuah kisah nyata. Dialami masyarakat Dayak di sebuah desa di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Deskripsi tak lain dari potret konkret sosok pembangunan yang tak bersahabat dengan Masyarakat Adat atau Indigenous Peoples (Stepanus Djuweng dan Sandra Moniaga dalam "Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk di Indonesia, Masihkah Ada Tempat?" pengantar terjemahan Konvesi ILO 169, yang diterbitkan LBBT Pontianak dan Elsam Jakarta, menerjemahkan istilah Indigenous and Tribal Peoples sebagai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat. Sejak itu, istilah Masyarkat Adat mulai dikenal di Indonesia, terutama di kalangan Ornop Advokasi. Inikah implikasi logis dari kebijakan pemerintah RI terhadap Masyarakat Adat (MA).

Masyarakat Adat Dayak

"Dayak" adalah sebutan kolektif terhadap sekitar 405 kelompok etnolinguistik yang mendiami pulau Borneo. Mereka menamakan/dinamakan Iban, Kayan, Kenyah, Kanayatn, Maanyan, Ngajuk, Uut Danum, Bidayuh, Simpang, Pompakng, dan lain-lain. Menurut para peneliti, penamaan ini berdasarkan kesamaan Hukum Adat, Ritual Kematian dan Bahasa. Sebenyarnya penamaan sub-suku Dayak juga dapat didasarkan pada letak geografis kawasan adat mereka.

Menurut King (1978) Kedit (1988), dan Ukur (1992) mereka disebut Dayak karena memiliki persamaan-persamaan bentuk fisik dan unsur-unsur budaya seperti rumah panjang, persamaan-persamaan linguistik, korpus tradisi lisan, adsat istiadat dan hukum adat, struktual sosial, bentuk senjata, dan pandangan mengenai jagat raya. Hal lain yang juga serupa adalah pola hubungan relegius dengan tanah dan alam sekitar, pola pemanfaatan, pemilikan, dan ekstraksi sumber daya alam. Bagi oang Dayak, tanah menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan yang akan datang. (Lihat Stepanus Djuweng, The Conflicts Between the Customary Landrights and Development Policy in West Kalimantan: The Case of Ngabang, Nobal and Tumbang Titi. Paper prepared for IX INGI Conference, Odawara, Japan, 1992).

Dengan persamaan-persamaan itu, maka kata "Dayak" telah menjadi label etnisitas dan identitas budaya, sosial, ekonomi, politik dan religius bagai kelompok-kelompok etnik di Kalimantan/Borneo itu tadi. Pada masa lalu para atropolog asing mendefiniskan Dayak sebagai 'Non-Moslem Indigenous Peoples of Borneo' (Masyarkat Adat Borneo yang bukan Islam). Pendekatan keagamaan seperti itu berasal dari tradisi bahwa ketika orang Dayak memeluk agama Islam, mereka tidak lagi mengidentifikasinya sebagai Dayak, tetapi Melayu. Dalam dekade 80-an terjadi semacam arus balik, bahwa identitas suku tak dapat dihapuskan oleh agama. Maka orang-orang Dayak yang Islam tadi kembali menyebut diri mereka sebagai Dayak lagi.

Posisi Pemerintah RI

Apa kebijakan resmi pemerintah Indonesia terhadap MA. Tidak jelas. Tak heran, ketika PBB mencanangkan tahun 1993 sebagai The Interna-tional Year for the Indigenous Peoples (Tahun International bagi Masyara-kat Adat), pemerintah RI menanggapinya dengan sangat dingin. Argumentasinya adalah: tak ada Indigenous Peoples (Masyarakat Asli) di Indonesia.

Terpengaruh oleh pandangan yang demikian, agaknya Menteri Negara Lingkungan Hidup (waktu itu) Sarwono Kusumaatmadja misalnya--dalam seminar sehari Dimensi Manusia Dalam Pembangunan yang diadakan Walhi--memplesetkan The International Year for Indigenous Peoples 1993) (Tahun Internasional bagi Masyarakat Adat 1993) menjadi The Traditional Peoples Year 1993 (Tahun Masyarakat Traditional 1993Lantas Indigenous Peoples diplesetkan menjadi the Vulnerable Population Groups--Kelompok Penduduk Rentan (Sarwono Kusumaatmadja, "The Human Dimension of Sustainable Development". Paper yang dipresen-tasikan dalam Seminar "Dimensi Manusia Dalam Pembangunan Yang Berwawasan Lingkungan, oleh Walhi, Jakarta 14 Oktober 1993).

Terdapat makna yang sangat berbeda antara Indigenous Peoples dan Traditional Peoples, atau the Vulnerable Population Groups. Plesetan demikian, selain menyakitkan hati, juga sesungguhnya suatu pelecehan sosial, kultural dan politik. Di Departemen lain, tingkat pelecehannya bisa lebih parah. Sebelum terjadinya musibah nasional 1997 yang disebabkan asap pembangunan, MA senantiasa dituduh sebagi peladang liar, peladang berpindah, perambah hutan, suku primitif, masyarkat terkebelakang. Oleh karena itu, perlu dibuat Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan.

Departemen Sosial, hingga saat ini masih menyebut MA sebagai masyarakat terasing atau suku terasing. Oleh karena itu mereka harus dimukimkan kembali. Begitupun mantan Menteri Agraria Kepala BPPN Ir Sony Harsono menganggap masyarakat adat di Indonesia berserta hak-hak mereka atas tanah pelan-pelan akan lenyap. Dan oleh karena itu proses revitalisasi dan restitusi terhadap hak-hak masyarakat adat tidak dapat dibenarkan.

Stigmatisasi-stigmatisasi ini di satu pihak, tidak hanya melecehkan, tetapi mengintimidasi. Di sisi lain, ia agaknya sengaja diciptakan untuk tidak mengakui eksistensi MA dan dengan demikian secara sistematis dapat mengeleminir hak-hak MA atas tanah dan sumber daya alam (Bandingkan dengan Agus Rumansara: Indigenous Peoples in Indonesia: some Note From Field Experience. Paper prepared for the Forum on Indigenous Peoples Policy for Development Assistance in Asia, Asian Development, Manila 1995).

Kedudukan Konstitusional MA

Sesungguhnya pengakuan atas adanya kemajemukan budaya--termasuk pula pengakuan atas adanya kemajemukan sumber-sumber hukum yang berlaku di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari--telah terakomodasi dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bab VI, pasal 18 UUD '45 mengatur pembagian wilayah Republik Indonesia. Pasal ini berbunyi, "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimemwa". Bunyi pasal ini diperjelas dengan penjelasan yang berbunyi, "Dalam teritori Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturunde landscappen dan Volkge-meenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hal asal-usul daerah tersebut."

Maka dapat dikatakan, UUD 1945 mengandung pengakuan atas keberadaan "persekutuan-persekutuan hukum dan politik tradisi" yang bersumber dan/atau merupakan bagian dari sistem budaya berbagai kelompok masyarakat yang tercakup dalam teritorial (wilayah hukum) Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dengan demikian secara mudah dapat dipahami, pengakuan ini tidak hanya terbatas pada aspek wujud lembaga semata, melainkan juga pada aspek-aspek struktural organisasi, mekanisme kerja, peraturan-peraturan yang dikandungnya, serta berbagai hak-hak dan keajiban-kewajiban yang terkandung di dalam sistem kelembagaan dimaksud itu.

Sangat jelas amanat pasal ini. Semua peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak boleh mengingkari hak-hak asal-susul dan susunan asli. Sebaliknya, pelanggaran dan pengingkaran baik di tingkat peraturan perundang-undangan dan praktek-praktek di lapangan dapat dikatakan sebagai pelanggaran atau penyimpangan dari Undang-Undang Dasar 1945. Dalam diskusi lebih lanjut dapat kita buktikan bagaimana peraturan perundang-undangan Indonesia sungguh-sungguh bertentangan dengan pasal 18 UUD 45. Demikian pula perlakuan-perlakuan dalam rangka Pembangunan Nasional juga bertentangan dengan dasar negara Indonesia: Pancasila.

Pembangunan adalah Penindasan

Salah seorang penduduk bumi yang paling bertanggungjawab terhadap invasi pembangunan adalah Hary S. Truman. Dalam pidato pelantikannya di hadapan Kongres Amerika 20 Januari 1928, Truman menyebut negara-negara selatan sebagai negara terbelakang (underdeveloped countries). Oleh karena itu tugas Amerika dan Eropah Barat adalah membawa pembangunan itu ke Selatan. Pidato Truman itu kemudian diperkuat dengan diumumkannya Dekade Pembangunan Tahun Pembangunan Internasional Pertama (1960-1970). Usulan untuk tindakan nyata dari dekade itu menyebutkan, dunia ketiga tidak hanya membutuhkan pertumbuhan (ekonomi) tetapi pembangunan. Pembangunan adalah pertumbuhan ditambah perubahan. Perubahan, pada gilirannya adalah (perubahan) sosial, budaya, dan ekonomi baik yang bersifat kualitatif mau pun bersifat kuantitatif (Lihat Wolgang Sachs, The Anotomy of Development dan Global Ecology, A New Arena of Politial Conflict, yang dikutip S. Djuweng dalam Pembangunan dan Keadilan, Masihkan Relevan, Kompas 12 April 1996).

Sejak itu, kata pembangunan menjadi jargon sakti yang menandai hubungan utara selatan. Pembangunan kemudian telah melahirkan semacam keyakinan baru yang menawarkan semacam mitos kesaktian: Kesejahteraan dunuia akan tercapai lewat perubahan sosial, budaya dan ekonomi yang disebut pembangunan. Agaknya yang lupa dikatakan oleh Harry S. Truman adalah, kekayaan yang dinikmati oleh utara berasal dari hasil penindasan baik di selatan (di koloni-koloni) mau pun di utara itu sendiri. Bagi Belanda misalnya dari Tanaman Paksa 1830-1875 memberikan keuntungan sebesar 900 juta Florin (S. Djuweng, From Cultuur Stelsel to Pembangunan PIR Bun", Paper untuk Konferensi XI International NGO Forum on Indonesian Development, Bonn, 4-6 Mei 1998. Dia mengutip dari sumber-sumber sejarah yang mengupas Compulsory Cultivation jaman Daendeles dan Van den Bosch (1830-1875). Hasil tanaman paksa itu cukup untuk melunasi Hutan Negeri Belanda yang membiayai Perang Kemerdekaan Belgia dan Perang Jawa, Membangunan Jaringan Kereta Api, Meningkatkan Industri dan Perdagangan). Di Amerika Utara, penduduk asli telah menjadi korban penindasan atas nama pembangunan dan industrialisasi. Begitu pula adanya di Australia dan Selandia Baru.

Pada saat ini, penindasan dalam bentuk ketidakadilan ekonomi dan politik antara utara selatan masih saja terjadi. Di Bolivia, orang perlu menghabiskan 21 hari kerja untuk menukar sebuah jam buatan Swiss yang hanya dibuat dalam waktu 3 jam (Lihat Rudolf H. Starm, Kepincangan vs Kepincangan, Gramedia Jakata: 1984).

Gugatan terhadap pembangunan muncul dari berbagai kalangan inte-lektual, organisasi non pemerintah, dan masyarakat adat. Selama hampir 50 tahun setelah Truman mengintrodusir kata negara terbelakang dan negara maju, pembangunan telah memperkaya sekitar 20 % penduduk dunia, dan memiskinkan 80% lainnya. Negara-negara industri dan Industri Baru, mengalami pertambahan pendapatan sebesar 80% selama 4 dekade ter-akhir. Sebaliknya di negara-negara miskin, pendapat telah menurun sebesar 15 %.

Di Indonesia penindasan dan bahkan pembunuhan atas nama pembangunan berlangsung marak. Kasus-kasus di sekitar Free Port (Irian) misalnya adalah fakta yang berbicara untuk dirinya sendiri. Demikian pula proses peminggiran terhadap suku Dayak di Kalimantan. Kedatangan ekonomi yang kapitistik ke Kalimantan telah menggusur sumber-sumber perekonomian rakyat Prof. Dr. Mubyarto dalam pidato penutupan Seminar Perekonmian Rakyat Kalimantan, di Pontianak September 1991). Hal yang sama juga dialami oleh kelompok-kelompok masyarakat adat di Mentawai, Nias, Jambi, Riau, Krui, di Sulawesi, Maluku dan sebagainya. Dari fakta-fakta itu sulit untuk percaya dan memahami bahwa pembangunan akan mensejahterakan umat manusia.

Penghancuran yang Sistematis

Bagian ini akan mendiskusikan proses eksplotasi dan opresi terhadap masyarakat Dayak di Kalimantan. Jika dilihat dari sudut proses, peminggiran itu dimulai dari kata-kata (verbal), tindak tanduk (behavioral) dan perampasan-paksa (performance). Sementara itu resistensi MA juga seirama dan setara dengan tingkatan proses tersebut. Penghancuran yang sistematis terhadap Masyarakat Adat melalui faktor berikut:

1. Pendidikan Formal

Pendidikan formal (sekolah) ibarat pisau bermata dua. Di satu pihak--sekurang-kurangnya sebagai impian dan harapan--ia akan membuka pikiran dan wawasan, serta membuat orang menjadi kritis. Di sisi lain, ketika proses pendidikan sekolah diberlangsungkan dengan penuh indoktrinasi, mencerabut orang dari budaya sendiri, dan tidak kritis, maka harapan itu tinggal impian yang tidak pernah terwujud.

Dan begitulah yang terjadi selama ini. Anak-anak Dayak didoktrin untuk melecehkan budaya mereka sendiri. Para petani dianggap berladang liar. Ladang moderen adalah sawah di Jawa. Padi moderen adalah PB5, PB12, dan sebagainya, sedangkan padi lokal sama sekali tidak pernah dibicarakan. Cara-cara orang Dayak bertanam karet, berburu, memungut hasil hutan, memelihara pohon buah-buahan dianggap tidak produktif, kolot, primitif, tidak berbudaya. Bacaan-bacaan di sekolah adalah tentang cerita-cerita dari luar Kalimantan.

Maka anak-anak Dayak tumbuh menjadi manusia asing di negeri sendiri yang memusuhi budaya mereka sendiri. Pikiran mereka berubah dari pikiran nyata menjadi pemimpi. Mereka lebih mengenal hal-hal yang berada nun juh di sana dari pada yang ada di sekitar mereka. Pola pikiran semacan ini ternyata membnerikan sumbangan yang sangat signifikan terhadap proses kepunahan kebudayaan Dayak.

2. Penyebaran Agama-Agama "Asing"

Pada masa lalu, ketika orang Dayak memeluk agama Islam, mereka tidak lagi mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Dayak, tetapi orang Melayu. Ketika agama Islam masuk ke Kalimantan, kelompok-kelompok orang Dayak yang tidak ingin masuk Islam berimigrasi ke pedalaman. Suku Simpang yang semula bermukim di tepi pantai mudik sampai jauh ke hulu sungai Simpang (lihat S. Djuweng, Dayak Simpang, Orang Pantai yang Terdesak ke Pedalaman, Laporan Penelitian Tradisi Lisan Dayak Simpang, Institute of Dayakilogy Research and Development, 1994). Hal yang sama terjadi pula pada suku Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah yang semula bermukim di Kayu Tangi (dekat Banjarmasin) ke kawasan Siung Uhang (Nimer Widen, Orang Maanyan, Dipersatukan Oleh Darah, dalam Kurban Yang Berbau Harum, 65 Tahun Pendeta Dr. Fridolin Ukur p 106, Balitbang PGI, 1995).

Bentuk resistensi yang paling efektif untuk menghindari pengaruh Islam pada waktu itu adalah pindah ke kawasan yang sulit dijangkau oleh pengaruh itu. Memang kemudian kelompok-kelompok ini tetap tunduk kepada kekuasaan Kesultanan, walau pun relatif memiliki otonomi yang luas (S. Djuweng, Peoples Organisations in West Kalimanan, Between Myth and Reality. Background Paper Prepared for The Conference of Indigenous Peoples in Asia, Chiang May, November 1995). Ketika agama Kristen datang, para pendekata dan pastor memilih pendekatan yang sama sekali berbeda dengan pendekatan penyebaran Islam awal. Para missionaris ini tinggal bersama orang-orang Dayak, berbicara dalam bahasa mereka, makan dan tingal bersama orang Dayal dan mendirikan sekolah-sekolah.

Pada masa sebelumnya orang Dayak sulit untuk sekolah, kecuali kalau masuk Islam. Hal ini dikatakan Abdul Manaf (Kakandep Dikbud Kab Ketapang) pada sambutan Pembukaan Penataran Mulok di Balai Semandang, Kecamatan Simpang Hulu, 1996. Para penyebar agama Nasrani ini juga pada umumnya menganggap bahwa agama lain itu (pada waktu itu, sebelum Konsili Vatican II) adalah kafir. Termasuk Islam dan kepercayaan asli orang Dayak.

Dalam kehidupan sehari-hari pastor dan pendeta membagikan pakaian bekas, mengajar membaca dan menulis, membagi obat-obatan, gambar-gambar dari Eropah. Mereka dicintai dan mencintai orang-orang Dayak. Pastor-pastor tidak melarang orang Dayak makan babi dan minum tuak. Dalam persepsi orang Dayak mereka adalah pendukung untuk melawan dominasi Melayu (Islam). Dalam fase berikutnya, barulah mereka menyebarkan agama Nasrani. Penyebaran Nasrani kala itu sangat bertentangan dengan kepercayaan asli orang Dayak. Orang-orang yang tidak memeluk nasrani disebut kafir, menyembah berhala, primitif, penganut animisme dan tidak moderen. Maka Nasrani adalah lambang moderenisasi.

Dr. JJ. Kusni menganggap penyebaran agama Kristen sebagai penundukan terhadap orang Dayak. Para penyebar agama Kristen dengan mengemban tugas apa yang mereka sebut sebagai la mission sacre (tugas suci) memberadabkan orang-orang yang disebut sauvage (biadab), memandang budaya Dayak sebagai ragi usang sesuatu yang patut dibuang.

Konsep ragi usang, demikian Kusni, ingin mengosongkan orang Dayak dari Budaya mereka sendiri dan mengisinya dengan nilai-nilai dari luar (Baca lebih lanjut J.J. Kusni, Dayak Membangun, Kasus Dayak Ngajuk Kalteng, Paragon, Jakarta 1994).

3. Dominasi Budaya

Selama masa pemerintahan Orde Baru, apa yang disebut pembangunan kebudayaan memiliki tiga ciri utama: pertama, budaya dipersempit hingga menjadi seni budaya, kedua, pengembangan budaya harus berorientasi kepada dunia bisnis (komersial), ketiga, pertunjukkan seni budaya harus sejalan dengan kemauan pemerintah. Dengan demikian telah terjadi pendangkalan-pendangkalan nilai, bentuk, fungsi dan makna kebudayaan. Seiringan dengan itu telah pula terjadi pasungan, pemerkosaan, dan dominasi terhadap budaya-budaya etnik di Indonesia. Di beberapa tempat di Kalbar, penyelenggaraan pesta kawin, pelantikan belian, upacara adat harus terlebih dahulu mendapat ijin lisan dari Kepolisian. Ijin lisan itu berharga Rp 15,000.- (lima belas ribu rupiah).

Situasi itu sebenarnya adalah "revitalisasi" dominasi superculture yang feodalistik pada masa sebelum kemerdekaan. Pada masa itu, budaya standar adalah budaya Kesultanan atau budaya penjajah (Barat). Budaya-budaya di luar superculture tersebut dianggap primitif, biadab, kanibal. Dan itu identik dengan Dayak. Orang-orang non-Dayak, ketika melihat satu di antara anggota warga mereka menyimpang dari norma-norma superculture tadi, disebut dan dipanggil Dayak. Di Jawa pada masa lalu ada pertunjukkan Ndayak: Kedayak-dayakan. Dulu di Kalbar, belacan (terasi) atau anjing kurap di tengah jalan disebut Dayak. Bulan November saya kebetulan sedang minum di Airport Supadio. Saya mendengar percakapan beberapa orang pejabat yang berpakaian Safari dan memakai tanda Korpri. Mereka bilang," ... seperti orang Dayak, tidak ada aturan." Mereka berbahasa Indonesia dan beraksen Jawa. Bukan maksud saya menuduh semua orang Jawa anti Dayak, tetapi pikiran, tindakan dan ungkapan diskriminatif adalah kenyataan sehari-hari. Saya sedih, seorang pejabat (dugaan dilihat dari cara merokok, minum, tas dan penampilan) masih mewarisi pikiran seperti itu. Mudah-mudahan dia membaca tulisan ini.

Dalam dasawarsa 70-an, orang-orang Dayak dituding hidup dalam sistem komunis, tidak sehaat, melakukan praktek-praktek prostitusi terselubung karena tinggal di rumah panjang. Rumah-rumah panjang itu kemudian dibongkar. Sejak itu, orang Dayak hidup di rumah tunggal. Hasilnya, orang-orang Dayak menjadi sangat individualis. Dengan hancurnya rumah panjang, maka hancurlah pula jantung kebudayaan Orang Dayak. Penghancuran rumah-rumah panjang itu merupakan bagian dari kebijakan pemerintah Indonesia (lihat Guy Sacerdoty and David Jenkins, "Good By to That All" Far Eastern Economic Review, 1978. Lihat juga Mill Roekaert, "Tanah Diri', Land Rights of the Tribal." Pro Mundi Vita, Belgium, 1987). Pada saat pariwisata menjelma menjadi industri, dan orang-orang haus akan eksotisme, maka rumah panjang di Kalbar menjadi objek buruan.

Budaya lain yang dikembangkan selama Orde Baru adalah budaya kebohongan nasional. Kebohongan itu terlihat dan terdengar secara rutin lewat TVRI dan RRI. Berita di Nasional RRI disiarkan setiap jam, dan berita regional setiap jam, dengan jam siaran yang berbeda, sehingga waktu selanya hanya 30 menit. Media lain tempat disebarluas-kannya kebohongan adalah media cetak.

Di RRI, TVRI, dan media cetak, semua yang dilakukan pemerintah pada masa Orba adalah baik dan benar adanya. Pemerintah tidak boleh salah, yang boleh salah adalah rakyat. Begitupun pidato pejabat, dari yang tertinggi sampai yang terendah. Semua baik dan semua benar. Gaya eufemisme dalam budaya berbahasa disebut sebagai bahasa diplomatik. Hanya para diplomat saja yang boleh bicara, boleh menulis, boleh mengenukakan pendapat. Rakyat jelata seperti saya, tidak boleh.

Setelah Soeharto lengser keprabon, kebohongan itu baru terbongkar. Dahsayatnya, masih ada orang yang tidak percaya. Rupanya, benar kata ppatah, "Bila kebohongan diceritakan seribu kali, ia akan menjadi kebenaran."

4. Hukum yang Memihak Penguasa

Yang dimaksud penguasa adalah pemodal dan pemerintah. Ketika terjadi kasus perampasan tanah rakyat, orang berkata begini, "Hukumnya baik, tetapi pelaksanaannya yang tidak baik. Padahal hukum adalah produk politik. Di Indonesia, hukum adalah produk politik yang monolitik, dan oleh karena itu," seperti diutarakan Abdul Hakim Garuda Nusantara, Direktur Elsam, "Hukum dan perundang-undangan di Indonesia dibuat untuk memperkuat dan berpihak kepada penguasa. Dan dengan demikian tentu memperlemah rakyat (lihat AH.Garuda Nusantara dalam Sessi "Analisis Politik Hukum Nasional" pada Workshop Pendidikan HAM di Nyarumkop yang diselenggarakan oleh ELSAM dan LBBT, 1994).

Dalam konteks kehidupan masyarakat adat produk hukum dan perundang-undangan nasional yang tidak berpihak kepada mereka antara lain adalah: Pertama, Undang-Undang Pokok Agraria No5/1960 yang Jawasentris. Bahwa tanah-tanah yang tidak diolah terus menerus dianggap tanah terlantar. Di luar Jawa salah satu teknik pengolahan tanah adalah membiarkannya untuk proses penyuburan kembali; bahwa hak-hak adat diakui sejauh pada kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Siapa mendefiniskan kepentingan nasional? Pemerintah dan pengusaha.

Kedua, Undang-Undang Pokok Kehutanan No 5/1967, yang membekukan hutan-hutan milik adat. Oleh karena itu HPH-HPH dapat beriperasi di atas hutan milik adat, yang adalah tempat mata pencaharian dan pekerjaan masyarakat adat. Dengan demikian ia bertentangan dengan pasal 27 UUD'45. Ketiga Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah No 5/1974 dan Undang-Undang Pokok Pemerintahan Desa No5/1979 bahkan bertentangan dengan Pasal 18 UUD' 45. Begitu puila dengan Undang-Undang Pokok Perikanan, ternyata mengeliminir hak-hak masyarakat pesisir atas pantai dan laut, yang adalah juga tempat memberlangsungkan kehidupan mereka.

5. Invasi Kapitalisme Internasional

Undang-Undang yang berhubungan dengan eksploitasi terhadap sumber daya alam ternyat sengaja dibuat oleh Pemerintah Orba untuk melicinkan proses eksploitasi sumber daya alam oleh negara dan pengusaha. Usaha-usaha itu dimodali oleh pinjaman luar negeri dan pengusaha asing dan pengusaha nasional. Tahun 1993, Departemen Kehutanan mengusai 73% total luas tanah di Indonesia (baca Djuweng, "Indigenous Peoples and Land Use Policy in Indonesia, A Dayak Showcase", IDRD Pontianak,1997). Pada tahun 1990 terdapat 575 Hak Pengusaan Hutan di Indonesia seluas 60.30 juta hektar. HPH yang beroperasi di Kalimantan mengkavling areal hutan seluas 30.15 juta hektar, lebih separuh dari luas HPH di Indonesia. Sedangkan luas total hutan di Kalimantan adalah 44.96 juta hektar.

Menurut Pemda Kalbar, terdapat 5,817,240 ha HPH (1991), dan 3,3875,005 ha dicadangkan untuk taman nasional, dan hutan lindung. Di pihak lain menurut peta TGHK Kanwil Dephut jumlah areal HPH di Kalbar dalam tahun yang sama 6,207,500 ha, atau lebih luas 390,000 ha. Apakah berarti hutan lindung dan taman nasional sudah digarap untuk HPH?

Dampak kehadiran HPH bagi Masyarakat Adat Dayak

Menurut Djuweng, ada 5 dosa utama perusahaan HPH. Pertama, HPH mengelinir hak-hak MA. Amanat Undang-Undang Pokok Kehutnan No 5/1967 benar-benar diterapkan di lapangan. Contoh nyata adalah yang terjadi di wilayah hukum (Banua) Masyarakat Adat Dayak Simpang, Kabupaten Ketapang, Kalbar. Di banua itu terdapat titik pertemuan 7 buah HPH. Dan dalam peta TGHK, seluruh banua dikatego-rikan sebagai kawasan hutan. Padahal di sana bermukim 24,850 jiwa Dayak Simpang yang tersebar dalam 40 kampung.

Keluhannya pihak HPH dan pejabat kehutuan kemudian, hutan di kawasan itu telah dirambah oleh peladang berpindah dan perambah hutan. Memang penduduk melakukan sistem pengelolan sumber daya alam terpadu. Mereka memelihara hutan, menanam pohon buah-buahan, menanam dan memelihara kebun karet, sejak sekitar 1600-an. Semula mereka bermukim di tepi pantai. HPH-HPH itu mulai beroperasi di sana. Sejak itu, pola kehidupan masyarakat berubah.

HPH, selain menebang pada kawasan Rencana Karya Tahunan, juga melakukan pencurian kayu di hutan adat atau kawasan yang belum memiliki RKT. Petugas kehu-tanan pura-pura tidak tahu. Seorang pegawai Kehutanan yang reformis yang berjumpa dengan penulis di Pontianak bahkan menduga produksi sektor kehutan yang sebenarnya dua kali luipat dari yang dilaporkan secara resmi. Menurut dugaan dia telah terjadi manipulasi.

Kedua, menggusur sumber penghdidupan dan matapencaharian MA. Kehancuran ini baik oleh HPH resmi mau pun penebangan yang dilakukan oleh HPH dengan menggunakan penduduk lokal. Kerusakan ini berdampak serius terhadap akses masyarakt adat terhadap sumber daya hutan non kayu.

Di Bihak, Kabupaten Ketapang misalnya, HPH membabat 2,900 batang pohon tengkawang rakyat. Menurut penuturan Doran, tokoh MA Kampung Lubuk Kakap, sebelum ditebang oleh HPH, untuk kampung Lubuk Kakap saja memungut 100 ton tengkawang, setiap kali berbuah dalam sela 4 tahun, atau 25 ton per tahun. Perhitungan ini belum termasuk kampung-kampung lainnya. Setelah pohon itu dibabat, musim buah terakhir (1998) mereka hanya mendapat 4 ton. Harga terakhir tengkawang Rp 5,4 juta perton. Dengan demikian kerugian masyarakat Rp 540 juta. Kerugian pertahun pertahun sekitar Rp 135 juta. Jika pohon-pohon itu masih dapat berproduksi 50 tahun saja, maka kita dapat menghitung kerugian yang diderita masyarakat setempat (Laporan Doran, pemuka Masyarakat Adat Beginci kepada IDRD dan investigasi lapangan IDRD Pontianak, 1998).

Selain itu, HPH juga membabat lebih dari 40 batang pohon madu. Setiap pohon setiap tahunnya menghasilkan 400 liter atau 553 botol madu dengan harga lokal Rp 7,000.00 Dengan demikian kerugian setahun Rp 149,240,000.00. Tidak hanya itu, pohon-pohon damar juga dibabat habis. Bahkan padi rakyat yang sedang menguning ditimpa tumbangan pohon yang ditebang HPH. Peristiwa-peristiwa itu adalah bentuk-bentuk penindasan yang maha dahsyat.

Hutan adat yang dulu merupakan kawasan perburuan bagi masyrakat adat untuk mendapatkan daging. Kehadiran HPH telah mengusir beberbagai jenis binatang buruan. Selain itu, tanah yang tererosi juga menciptakan kualitas air yang jelek, dan ikan-ikan tidak sebanyak ketika sebelum kehadiran HPH-HPH itu.

Ketiga, menggeser tatanan sosial budaya lokal. Pegawai-pegawai HPH menghamili perempuan-perempuan lokal, mengawani mereka seumur kontrak dengan HPH. Setelah kontrak selesai, perkawinan itu pun bubar. Di sana terdapat puluhan janda, dan anak-anak yang ditinggalkan ayah mereka.

Budaya baru: judi, minuman keras, keroke, dan bahkan filem biru berkembang subur dan hampir merata. Yang menyedihkan, masyarakat setempat belum cukup kritis untuk menelaah perubahan yang terjadi secara drastis tersebut. Kebanyakan orang mengatkan, "begitulah modernisasi." Ya, apa memang begitu, hampir tak ada aturannya. Kondisi ini telah menggeser tatanan sosial budaya Masyarakat Adat.

Muncul pula segelintir orang kaya baru yang melakukan penebangan untuk kemudian dijual kepada HPH-HPH itu.

Selain HPH, pembangunan yang meminggirkan orang Dayak di Kalimantan adalah pertambangan. Di desa Kerangas kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, para penambang lokal ditangkap Mabes Polri (menurut Keterangan masyarakat setempat) dengan menggunakan Helikopter.

Kawasan itu semula merupakan lokasi Wilayah Tambang Rakyat (WTR), tiba-tiba menjadi konsesi pertambangan PT Kapuas Aluvial Jaya. Sengketa ini berakhir dengan penangkapan dan pemenjaraan para penambang rakyat.

Masyarakat Adat Dayak Siang Murung di Puruk Cahu juga menderita akibat ekspoitasi pertambangan yang dilakukan Indomoro Mas Mining perusahaan asal Australia. Perusahaan itu menggusur pemukiman penduduk, mengambil tanah pertanian dan mencemarkan lingkungan. Di Kaltim perusahaan tambang Kelian Mas Mining (CRA GroupAustralia) tidak dapat memenuhi janji-janji mereka kepada masyarakat adat setempat. Ketika dikonfirmasi oleh John Bamba (anggota Dewan Nasional Walhi) waktu RUPS CRA di Melbourne Australia 1994, eksekutif perusahaan itu mengatakan bahwa mereka telah membayar semua itu kepada pemerintah Indonesia. Di Monterado Kalbar, Lokasi dan base-camp Monterado Mas Mining dan sejumlah peralatan berat (kapal keruk) dibakar oleh masyarakat setempat. Masih banyak lagi sederetan kasus-kasus pertambangan yang dapat dikemukakan.

Selain pertambangan, usaha perampasan tanah dan hutan adat juga dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri. Bulan Agustus 1994, sekitar 1600 masyarakat adat Dayak Krio, Pawan dan Jeka bergabung untuk menuntut hak-hak mereka yang dirampas oleh PT. Lingga Tejawana (LTW). PT LTW membabat pohon buah-buahan, hutan adat dan pohon karet masyarakat setempat. Selain itu mereka juga menghina. "Orang Dayak otaknya di dengkul," dan pohon buah-buahan yang tumbuh di sana adalah tahi burung, bukan ditanam oleh orang Dayak. Protes itu berakhir dengan pembakaran 10 lokasi base-camp, sejumlah kendaraan berat dan 10 hektar kebun kayu (HTI).

Hal yang serupa juga dilakukan oleh Masyarakat Adat Dayak di Empurang Kabupaten Sanggau. Tahun 1992, mereka membakar barak karyawan HTI Inhutani II, karena perusahaan tersebut gagal memenuhi janji-janji mereka kepada masyarakat setempat.

Begitupun masyarakat di Belimbing Sanggau Ledo akhirnya membakar lokasi pembibnitan HTI PT. Nityasa Idola. Perusahaan tersebut dianggap masyarakat setempat mengambil tanah adat mereka.

Pembangunan HTI dan Perkebunan di Kalbar akan membabat 3,2 juta hektar lahan, yang sebagian besar adalah milik masyarakat adat yang berisi kebun karet, kebun buah-buhan, hutan adat, dan hak-hak milik lainnya.

Perusahaan Finantara Intiga misalnya, merencakan pengembangan 100 ribu ha HTI di Kalbar, dengan investasi sebesar US$ 150 juta, dan investadi di pabrik pulp direncanakan sebesar 1 milyar dollar.

Untuk setiap hektar, Finantara Intiga mengganti Rp 30,000 (dua dolar lebih sedikit). Sebanyak Rp 10,000 (sekitar 80 sen dollar) diberikan langsung kepada masyarakat, dan Rp 20,000 (satu dollar lebih) diberikan berupa sarana dan prasarana kepada masyarakaat yang bersangkutan. Kawasan itu meliputi 7 kecamatan 50 kampung Dayak.

Sepuluh persen dari areal itu diberikan kepada masyarakat (lebih kurang 10,000 ha), dan perusahaan akan memberli kayu HTInya seharga Rp 7,500 perkubik. Jika perusahaan membeli kayu dari tempat lain dengan kwalitas yang sama diterima di pintu pabrik harganya sekitar US 25.00 Artinya, perusahaan tidak memberi 10% jika ditinjau dari segi harga. Ketika saya mempertanyakan sewa yang begitu murah untuk 45 tahun, eksekutif perusahaan itu, yang adalah orang Finland, dengan arogannya bilang, "Kami tidak perlu tanah, kami perlu kayu." Lantas saya jawab secara enteng, "Silakan tanam akasia Anda di laut."

Di Kalimantan Timur, kasus HTI yang paling terkenal adalah peramapasan tanah Dayak Bentian yang dilakukan oleh perusahaan HTI milik Bob Hasan. Perusahaan ini menggusur kuran, kebun rotan dan tanah adat Dayak Bentian (Harian Akcaya, Pontianak 23 Oktober 1998). Dalam usaha mempertahankan hutan adat itu tokoh mayarakat setempat, L.B. Dingit sempat dianugerahi penghargaan dari Yayasan Goldman yang berpusat di Amerika Serika (The Dayak of Kalimantan, Who Are They , KR English Edition, May 1988). Beberapa bulan sepulang dari Amerika LB. Dingit kemudian diajukan ke pengadilan. Dia dianggap melakukan penipuan tanda tangan penduduk yang sepakat untuk mempertahankan tanah adat mereka.

Menurut hasil study JICA, jika tiga juta hektar itu direalisasikan, maka dampaknya bagi Kalimantan System akan hancur (collaps) karena Kalimantan tidak dapat menopang dirinya sendiri. Istilah Kalimantan System berasal dari Laporan Studi Japan International Cooperation Agency (JICA) yang di-hiring-Bappenas untuk meneliti pembangunan regional di Kaltengbar. Kalimantan System merujuk pada sistem pengelolaan asli Kalimantan sebelum masuknya HPH dan Perusahaan Perkebunan. Bahkan menurut laporan studi itu, jika tren yang sekarang ini tetap dipertahankan (3,2 juta hektar kebun), maka kegitan itu tidak cukup walau hanya untuk memberi pekerjaan dan penghasilan yang cuku walau hanya untuk penduduk Kalimantan saja.

Keempat menciptakan kesengsaraan masal: Pada awal "musim asap" 1997, hampir semua pihak menudah peladang asli (indigenous farmers)-untuk tidak menyebut peladang berpindah, peladang traditional (shifting cultivators)-sebagai biang kerok dari asap. Setelah Presiden Seoharto-melalui Meneg LH dan Menteri Kehutan--menyatakan asap berasal dari kegiatan pembukaan lahan Perkebunan, HTI, dan transmigrasi, beberapa Pemda seperti kebakaran jenggot. Tudingan kepada masyarakat peladang memang tidak beralasan. Sebab kalau peladang penyebab asap maka pada kemarau pada 1973, 1982 dan 1991 tentu ketebalan asap akan sama dengan saat ini.

Pertumbuhan asap ini agaknya merupakan konsekwensi logis proyek pembangunan sektor kehutanan yang bersifat eksploitatif sehingga menyebabkan kondisi alam menjadi sangat rentan terhadap bahaya kebakaran. Sekurangnya terdapat empat faktor yang menyebab kerentanan ini.

Pertama, proyek Hak Penguasaan Hutan (HPH). Menurut data, sampai 1990 terdapat 575 persuahaan HPH, dengan total areal seluas 60,36 juta hektar. Sebanyak 301 HPH seluas 31,150,400 hektar terdapat di Kalimantan. Kalbar dimiliki oleh 75 HPH dengan total luas areal 6,207,500 hektar. Menurut investigasi yang dilakukan oleh Asosiasi Mahasiswa Dayak Simpang, dalam setiap hektar rata-rata ditebang sekitar 6 pohon. Tempo (1982) menulis, sebatang pohon yang ditebang menimpa 17 pohon lainnya. Sementara itu HPH hanya mengambil batang kayu utama, sedangkan sisanya berupa dahan, daun dan ranting adalah limbah yang ditinggalkan.

Limbah ini ibarat bom waktu: kawasan lebih 6 juta hektar itu menjadi sangat rentan terhadap api. Apabila musim kemarau tiba, dan api-apa pun penyebabnya-menyala di salah satu titik dari kawasan itu, seluruh kawasan berpotensi untuk terbakar, karena hutan penuh dengan material bakar yang empuk.

Kedua, proses pembukaan lahan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) Seluas 1,599,000 ha dari kawasan HPH di Kalbar tadi adalah kawasan yang dapat dikonvesikan. Kawasan itu diperuntukkan pembangunan HTI, terdiri dari: 1,229,000 untuk HTI-pulp, 105,000 untuk HTI non-pulp dan 65,000 untuk HTI transmigrasi.

Menurut PP No 7/1990, HTI dibangun di atas lahan kritis, yakni hutan yang produksi kayunya kurang dari 20 meterkubik perhektar. Pada kenyataannya, pembangunan HTI di Kalimantan menempati hutan-hutan primer. Untuk itu para pengusaha mendapat izin Pemanfaatan kayu (IPK). Kayu yang ditebang, batangnya diambil, dan limbahnya ditinggalkan. Untuk membersihkan limbah itu dilakukan pembakaran. Memang tidak semua HTI melakukan hal ini.

HTI mengganti hutan alam yang heterogen dengan hutan buatan yang homogen. Jenis kayu yang ditanam adalah fast-growing trees, seperti akasia, albasia dan kayu-kayu sejenisnya. Kayu-kayu cepat tumbuh ini berdaun lebat dan mengalami regenrasi duan cepat. Daun-daun yang sudah mati gugur dan menumpuk secara merata di seluruh lahan dan menjadi media bakar yang sangat potensial dengan ukuran, ketebalan, dan kadar air yang sama. Sehingga di kawasan HTI yang luasnya ribuan hektar terdapat media bakar yang sama.

Dalam hutan alam yang heterogen ketebalan daun kering tidak sama dan tidak merata. Selain itu, regenerasi daun kayu keras hutan alam tidak secepat pada kayu pada tanaman kayu untuk HTI.

Ketiga, proyek-proyek perkebunan. Data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan luas pembangunan perkebunan di kalbar yang menggunakan pola PIR dan Swasta Nasional sampai triwulan III tahun anggaran 96/97 seluas 233.233 ha. Sedangkan luas kebun yang diusahakan rakyat adalah 480,643 ha.

Sementara itu sebanyak 165 perusahaan telah mendapat pengarahan lahan dari gubernur, dengan luas areal yang dicadangkan 2.369.778 ha. Dari jumlah tersebut tinggal 80 buah perusahaan yang Ijin Prinsip dan Pengarahan Lahannya masih berlaku. Sebanyak 39 buah sudah melalukan kegiatan fisik: land clearing, pembibitan dan penanaman.

Dilihat dari berbagai surat kontrak antara perusahaan perekebunan dan kontraktor pembersih lahan, jelas-jelas bahwa sejumlah perusahaan perkebunan mengunakan metode pembakaran dalam proses land-clearing-nya. Beberapa perusahaan di Kalimantan Barat membantah bahwa mereka melakukan pembakaran lahan. Namun investigasi lapangan yang dilakukan oleh relawan dari Pos LSM Untuk Penanggulangan Bencana Kebakaran menemukan fakta-fakta bahwa penyangkalan itu tidak benar.

Pembakaran lahan perkebunan dan HTI seluas ratusan hektar, sama sekali tidak dapat dikontrol. Apalagi mereka tidak berpengalaman dalam manajemen pengontrolan api. Sistem pengontrolan yang dilakukan peladang asli, sulit diterapkan pada lahan dengan luasan ratusan hektar.

Keempat, pembukaan lahan untuk proyek transmigrasi, khususnya pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. Para ahli telah mengingatkan, pembukaan lahan gambut itu akan menurunkan permukaan air tanah di lahan gambut. Pada musim kemarau, permukaan air yang sudah turun itu akan semakin surut. Dengan demikian gambut menjadi jerng dan mudah terbakar. Selain itu, sisa-sisa tebangan pada saat pembukaan lahan menambah keringnya lahan gambut.

Revolusi Informasi dan Teknologi

Hasil pembangunan lainnya yang juga menghancurkan dunia adalah revolusi informasi dan teknologi. Saat ini produk zat asm (CO2) dunia mencapai 12 ton perkepala yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dan non fosil. Sekitar 80% dihasilkan oleh negara Industri. Pabrik-pabrik, kereta api, pesawat terbang, mobil dan motor mengeluarkan zat beracun itu hampir tanpa kendali. Gas beracun ini, selain secara langsung membayakan kesehatan, juga berpengaruh negatif terhadap lingkungan global (efek rumah kaca).

Dalam hubungannya dengan Masyarakat Adat Dayak penggunaan barang-barang plastik misalnya menggantikan alat-alat rumah tangga yang dapat diuraikan oleh alam. Selain itu, masuknya teknologi televisi dan parabola dengan iklan dan bebagai kekerasannya telah pula mengubah pola hidup masyarakat. MA pada umumnya menilai - dengan bekal doktrin fari berbagai pihak - menilai apa yang terlihat di TV dan terdengar di radio itu adalah baik dan benar.

Maraknya bisnis hiburan berupa diskotik dan karoke telah memperdaya perempuan-perempuan Dayak untuk bekerja di sektor hiburan. Tidak jarang kemudian mereka terjerumus menjadi pekerja seks (Laporan hasil pelatihan Jurnalistik KR, Pontianak Juli 1997).

Alternatif Counter Pembangunan: Kesinambungan

Dari kesaksian-kesaksian dan fakta-fakta di atas, pembangunan selama lebih dari 4 dekade terakhir, seperti kata Wolgang Sachs telah menimbulkan dua krisis yang maha dahsayat, yakni krisis alam-lingkungan (nature) dan krisis keadilan (Wolgang Sachs, dalam kuliah "Towards Ecological Economics", Schumacher College, Deveon UK, winter 1996).

Krisis moneter dan kemudian krisis ekonomi yang terjadi di Asia dan Indonesia sekarang, adalah bagian dari kegagalan strategi pembangunan internasional dan kapitasme internasional. Dengan demikian, pembangunan (yang adalah baju baru globalisasi kapitalisme) sedang dalam proses kehancurannya. Maka yang diperlukan seakrang adalah keadilan dan kesinambungan.

Untuk mengatasi hal tersebut Masyarakat Adat memilih pemberdayaan untuk kesinambungan (empowerment for sustainability) bukan pemba-ngunan (development). Oleh karena itu MA menolah pembangunan berkesinambungan (sustainable developmnent). Dalam perspektif MA, pembangunan adalah lawan dari kesinambungan, sehingga kata majemuk kesinambungan pembangunan adalah kontradiksi di dalam dirinya sendiri.

Apa arti kesinambungan (sustainability) bagi masyarakat adat? Wolgang Sachs (1995) menulis, "Kesinambungan bagi masyarakat adat adalah resistensi terhadap pembangunan. Kesinambungan adalah kawasan bebas dari (gravitasi) pembangunan (zone free of development) baik dalam kehidupan sehari-hari maupun secara konseptual.

Perbedaan persepsi dan ideologi konsep kesejahteraan antara MA dan Masyarakat Barat (Modern) agaknya dapat menjelaskan debat ini. Bagi masyarakat barat (Amerika Utara dan Eropah Barat--yang kemudian diterima sebagai nilai-nilai yang universal--sejatera identik dengan memiliki (having), sedangkan bagi MA kesejahteraan identik dengan menjadi (to being). Di Amerika, sebuah penelitian membuktikan bahwa memiliki lebih banyak (having) dengan kebahagiaan (hapiness) adalah sebuah mitos belaka (Djuweng, The Dominat Paradigm and the Cost of Development, Some Implications for Indonesia, Second Edition, IDRD, Pontianak, 1997).

Bagi orang Dayak, sejahtara adalah: sungai memiliki ikan, hutan ada binatangnya, berladang dapata padi, teluk bernaga, batu tidak berubah, gunung tidak berpindah, pisang berbuah, tebu beranak pinak. Konsep kesejataraan semacam ini pada hakekatnya adalah keharmonisan dengan alam semensta yang menopang kehidupan manusia.

Sebaliknya bagi masyarakat moderen, sejahtera berarti memiliki banyak mobil mewah (berarti mencemari lebih banyak), memiliki banyak rumah mewah (berarti lebih banyak pasir, baru, pohon, besi dan baja digunakan), sering bepergian dengan pesawat terbang (mencemari lebih banyak), makan harus bersisa (pemborosan), pakai sepatu, baju, dasi yang mahal, dan seterusnya.

Maka kearifan asli (indigenous wisdom) sistemn pengelolaan sumber daya alam asli terpadu (Intergrated Indigenous Natural Resources Management System) yang dilakukan oleh MA adalah alternatif terhadap pembangunan yang cenderung merusak hanya satu-satunya dunia tempat kita tinggal.

Respon Masyarakat Adat Dayak & Pemberdayaan

Seperti yang telah saya kemukakan di bawah sub-judul pembangunan berarti penindasan, terdapat tiga aras penundukkan atau penghancuran terhadap masyarakat Dayak, dan penghancuran dilakukan secara sistematis, dari hal yang bersifat vebal (pelecehan dan penghinaan lisan dan tertulis) , behavioral (contoh yang disertai dengan tindak tanduk dan perilaku) dan performance (perampasan-paksa) terhadap sumber-sumber kehidupanan sosial, budaya, ekonomi, religius dan politis MA.

1. Respon di Masyarakat Basis

Terhadap yang verbal, masyarakat Dayak meresponnya dengan tindakan "emangnya gue pikirin" walaupun sebenarnya mereka secara mental sangat tepukul dengan berbagai bentuk penghinaan verbal tadi. Artinya, bentuk-bentuk resistensinya adalah: persetan dengan yang mereka bilang dan tulis.

Kedua, resistensi terhadap contoh perilaku adalah, "saya tidak akan mengikuti kelakuan mereka." Atau mereka berpindah ke tempat pemukiman baru yang bebas dari gravitasi modernisasi.

Ketiga, resistensi terhadap perampasan paksa adalah " terpaksa lawan balik". Artinya setelah upaya-upaya legal dan metalegal dilakukan, maka upaya terakhir adalah tindakan "extra-legal", yakni merampas ulang apa yang telah dirampas, atau membakar, melakukan perlawanan fisik. Tindakan ini biasanya dilakukan apabila tindakan-tindakan lain tidak mendapatkan hasil atau tidak didengar. Baru setelah aksi "ekstra legal" itu biasanya pihak-pihak terkait mengajak MA untuk berunding.

2. Respon di Tingkat Ornop

Di Kalimantan, terdapat sejumlah Ornop yang berorientasi pada pemberdayaan Masyarakat Adat. Di Pontianak tahun 1981 didirikan Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK) untuk membantah stigmatisasi bahwa Dayak tidak dapat berbuat apa-apa. Yayasan ini bergerak dalam bidang pendidikan, kemudian melebar ke pelayanan sosial, ekonomi kerakyatan dan kemudian advokasi. Tahun 1987, YKSPK mendirikan Kperasi Kredit (CU) dengan total anggota dan aset pada akhir tahun itu 82 orang dan 500 ribu rupiah. Sekarang anggota terdaftar sekitar 8,000 dengan total asset sekitar 5 milyar rupiah. Usaha lainnya adalah Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan (PEK), Bank Perkreditan rakyat (BPR) Pemetaan Partispatif (Community Mapping), yakni program pemetaan teritorial MA, Dana Solidaritas Masyarakat Dayak (DSMD), Dana Pendidikan Kritis Masyarakat Dayak (DPKMD), Solidaritas Kesehatan, dan sejumlah program internal lainnya.

Tahun 1990 YKSPK mendirikan Institute Dayakology Research and Development (IDRD - sejak 1998 diubah jadi Institut Dayakologi), yang kemudian secara hukum berafiliasi dengan Lembaga Penunjang dan Pelatihan Pembangunan Sosial (LP3S) Jakarta. IDRD adalah lembaga yang secara khusus dalam bidang penelitian dan advokasi kebudayaan Dayak: Penelitian, Publikasi Buku-Buku dan Majalah "Kalimantan Review") dan advokasi baik di forum lokal, nasional dan internasional.

Berikutnya, bersama IDRD, Walhi dan YLBHI dan LBH Surabaya, Pancur Kasih mendirikan Lembaga Bela Banua Talino yang bekerja untuk pemberdayaan hukum rakyat (hukum adat). Pada saat yang sama didirikan pula sebuah lembaga serupa di Kalimantan Timur dengan nama Lembaga Bina Banua Puti Jaji.

Di Kalimantan Tengah, IDRD, LBBT, YKSPK dan LBBPJ berusaha memfasilitasi berdirinya gerakan serupa. Masyarakat Dayak "metropolitan" Palangka Raya kemudian membentuk Yayasan Talusung Damar. Tetapi kemudian kurang berkembang. Lantas tumbuh sebuah lembaga kecil yang sangat energik di Puruk Cahu (Kalteng). Akhirnya lembaga yang difasilitasi.

Selain itu ada lagi unit yang mempromosikan Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) yang bersama-sama dengan sejumlah Ornop lain mendirikan Konsorsium Pemberdayaan SHK. Tahun lalu, IDRD, Pancur Kasih dan LBBT mendirikan Lembaga Pendukung Pemberdayaan Sosial Ekonomi Petani Karet (LP3SEPK). Lembaga ini bergerak dalam bidang pemberdayaan petani karet di Kalbar.

Di Kalbar didirikan pula Aliansi Masyarakat Adat (AMA), yang bertujuan untuk semakin memperkokoh perjungan Masyarakat Adat Dayak di Kalbar dalam mendukung perjuangan mereka.



***Sumber: S t e p h a n u s D j u w e n g
Lokakarya United Nation Economic and Social Council (UNESCO) di Jakarta

Tidak ada komentar: