Rabu, Januari 30, 2008
Mengalamiahkan Kota Jakarta
NEGERI Belanda mungkin dapatlah dijadikan contoh, bagaimana akibatnya bila berani menentang alam. Keberaniannya menentang alam bahkan telah dilakukan sejak tujuh abad silang dengan menguruk rawa, danau dan yang spektakuler adalah menguruk lautan menjadi polder, untuk dibudidayakan menjadi kawasan pertanian, perkotaan maupun permukiman penduduk.
Hingga awal abad ke-20, kegiatan menentang alam masih berlangsung dan gencar dilakukan, hingga tanpa disadari mengakibatkan rusaknya tata air, rusaknya struktur tanah akibat pencemaran pupuk pertanian, hingga musnahnya spesies hewan asli Belanda. Kesemuannya itu menunjukkan telah hilangnya lingkungan alamiah negeri kincir angin itu, seperti dirasakan masyarakat di kota-kota di Belanda akhir-akhir ini.
Apa yang telah terjadi di Belanda, tampak belum menjadi pelajaran berharga bagi kota-kota di Indonesia khususnya kota Jakarta. Walaupun tidak separah kota-kota di Belanda, namun terbukti Jakarta justru mengikuti jejaknya dengan mereklamasi pantai, menguruk rawa-rawa, hingga alih fungsinya kawasan genangan, kawasan green belt menjadi permukiman padat.
Akibatnya banjir pun selalu mengancam dan terjadi di setiap musim hujan, seperti yang terjadi saat ini di beberapa kawasan kota Jakarta. Istilah kota langganan banjir telah melekat menjadi trade mark Jakarta. Kota Jakarta juga dikenal sebagai kota terburuk ketiga di dunia akibat pencemaran udara (UNEP, 1996), maka lengkaplah sudah untuk menyebut Jakarta sebagai kota nekropolis (menyengsarakan atau mematikan).
MEMPERHATIKAN perkembangan positif Jakarta yang begitu pesat sebagai kota metropolitan di satu sisi, dan adanya berbagai kasus kerusakan lingkungan hidup kota yang amat serius, menunjukkan telah terjadi paradoksikal dalam pembangunan Kota Jakarta selama ini. Artinya adalah bahwa ketika kota mengalami kemajuan, di situ pula terjadi kemunduran. Dalam kaitan ini benarlah apa yang dikemukakan pakar lingkungan Otto Soemarwoto, bahwa pada hakekatnya suatu tindakan pembangunan akan mengakibatkan suatu perubahan lingkungan.
Sebenarnya perubahan lingkungan Kota Jakarta yang merupakan efek dari perkembangan kota selama ini yang menyengsarakan masyarakatnya, tidak akan pernah terjadi bila konsepsi human ecology atau etika terhadap lingkungan, yaitu konsep yang mengatur hubungan masyarakat (pelaku) kota dengan lingkungan dipakai sebagai landasan dalam pembangunan Kota Jakarta. Paling tidak konsepsi tersebut mampu meminimalkan, berbagai dampak negatif yang mungkin timbul dikemudian hari.
Sebenarnya ditilik dari apa yang tersurat dan tersirat, jiwa human ekologi tersebut telah menjiwai Undang-undang tentang Penataan Ruang Nomor 24 Tahun 1992 yang melandasi semua kegiatan penataan ruang kota, wilayah, pedesaan maupun kawasan di seluruh Indonesia. Pasal-pasal di dalamnya menyebutkan secara gamblang, dalam penataan ruang harus bermuara pada keseimbangan lingkungan alam dengan tata kehidupan masyarakatnya. Sehingga output yang diharapkan mampu mewujudkan perlindungan ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif, terhadap lingkungan untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Ketentuan hukum maupun suara-suara pelestarian dan peningkatan kualitas lingkungan hidup, bagi Jakarta tampaknya barulah menjadi lipstik belaka selama ini, belum menjadi jiwa dalam pembangunan kotanya. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan bila bukan kesejahteraan, lingkungan kota yang berkualitas yang didapat tetapi justru kota yang menyengsarakan masyarakatnya.
Kini nasi telah menjadi bubur. Persoalannya sekarang adalah apa yang harus dilakukan terhadap Jakarta. Akankah mengikuti saja secara alamiah apa yang akan terjadi, atau memperbaiki secara total atas kebobrokan lingkungan Kota Jakarta. Keduanya tentu saja mengandung konsekuensi yang sama beratnya. Konsekuensi pilihan pertama jelas akan menjadikan Kota Jakarta semakin "amburadul". Tidak hanya banjir, dan pencemaran udara saja yang akan terjadi namun krisis sosial pun siap menghadangnya. Kalau sudah demikian, gemerlapnya Kota Jakarta mungkin tinggallah kenangan belaka.
Konsekuensi kedua memerlukan biaya yang amat sangat besar. Artinya adalah dalam memperbaiki Jakarta pasti akan bersinggungan dengan berbagai lapisan, kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Modal keberanian, kesungguhan, ketegasan sikap tampaknya menjadi modal yang harus dipunyai bagi yang berkompeten untuk menata Ibu Kota ini.
Kalau Belanda dengan kondisi kota-kotanya yang jauh lebih berat kerusakannya daripada Kota Jakarta, berani memilih pilihan kedua dengan mengalamiahkan kota, kenapa Jakarta tidak? Mengalamiahkan secara besar-besaran Kota Jakarta, memang sesuatu yang mau tidak mau harus dilakukan secepatnya.
Kembalikan rawa-rawa, wilayah genangan, danau-danau, kebersihan udara, semak-semak, hutan-hutan, persawahan, air bersih, gemericiknya air sungai, kicauan burung-burung yang merdu tampaknya menjadi tuntutan utama. Sehingga sebutan desa besar bagi Jakarta, bukanlah sekadar sebutan yang tak bermakna, tetapi signifikan dengan lingkungan yang sebenarnya.
(Satrio HB Wibowo STA, dosen arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta )
Copy-Paste dari: KORAN Kompas
Rabu, 25 April 2001
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar