“Landak”, satu kata
itu tanpa sengaja melintas di telinggaku, dengan lantang kata itu terucap dari
bibir salah seorang lelaki bertubuh gempal dan berkumis tebal dalam warung
kecil beratap terpal. Warung berpenyangga kayu itu bertengger bebas diatas
trotoar jalan dekat sebuah kantor milik pemerintah. Tiga lelaki paruh baya berpakaian
rapi dan sopan tersebut terlihat asik bercengkrama, tidak begitu jelas mereka
tengah membicarakan apa.
“Ada aqua botol bu” Tanya ku pada pemilik warung
“Ada, tu di pojok” jawabnya, sambil menunjuk menggunakan kedua
bibirnya. Sembari ia terus membersihkan gelas-gelas minuman dalam ember kecil
disamping warung.
“Berapa bu?”
“Tiga ribu”
Setelah menyodorkan tiga lembar uang seribu, aku langsung
berlalu.
Sore ini, ditengah perjalanan, aku kembali teringat akan
satu kata tadi, satu kata itu perlahan-lahan membawaku pada sebuah cerita di masa
lalu. Kisah tiga tahun berlalu, ketika aku masih bekerja pada sebuah perusahaan
lokal bergerak dibidang kontraktor di kota Pontianak, aku ditugaskan khusus
pekerjaan di kabupaten Landak.
Tiba-tiba aku teringat sosok seorang Shogun,
Shogun sebenarnya bukan nama aslinya, selain shogun orang
memanggilnya dengan sebutan: “Pak Apan”, Apan adalah nama anak pertama beliau,
didaerah itu orang biasa memanggilkan nama anak pertama pada laki-laki dewasa yang
sudah memiliki keturunan.
Usianya sudah mendekati 60 tahun, badanya kekar, tinggi dan besar,
wajahnya sangat khas, mungkin karena itu ia dipanggil Shogun. Sebenarnya Shogun
adalah istilah bahasa Jepang yang berarti jendral, terutama untuk panglima
angkatan bersenjata Jepang.
Aku mengenal Shogun dengan baik ketika beliau menjadi
pemandu kami, waktu ada pekerjaan didaerah pedalaman tidak jauh dari kampungnya.
Lelaki Dayak itu, sangat disegani di kampungnya dan di kampung-kampung sekitar.
Ia biasa masuk hutan bertopi pet, tidak beralas kaki, hanya
bercelana pendek dan kaos oblong lengan panjang warna merah, bergambarkan
kepala banteng dengan moncong putih. Entah berapa lusin baju itu ada di lemari
pakaiannya, hampir setiap hari ia berseragamkan itu. Parang besar dan tajam
selalu terselip dipinggangnya.
Ia tidak banyak bicara hanya seperlunya. Shogun sangat hafal
jalan-jalan setapak yang ada di sekitar hutan dan kebun milik warga. Sehingga
dia tahu mana jalan terdekat dan aman untuk dilalui. Dia begitu piawai menebas
semak, menyinkirkan ranting-ranting bahkan menebang pohon besar sekalipun
dengan parang kesayangannya, apalagi menebas leher binatang buas.
Shogun sering memperlihatkan bagaimana mengenal dan
bersahabat dengan hutan. Beberapa kali kami pernah kemalaman dihutan dan
beberapa kali memang sengaja untuk tidak kembali ke mess kami, dan memilih untuk menginap di hutan. Aku sangat menyukai
aroma hutan disana baik di siang maupun malam hari.
Shogun sangat mahir memanfaatkan apa yang ada di hutan untuk
bisa di kosumsi, kemudian memasaknya menjadi makanan. Pernah suatu ketika
Shogun menemukan hewan labi-labi, hewan mirip kura-kura di sungai kecil dekat
kebun warga, kemudian dengan bumbu seadanya ia memasaknya dalam sepotong bambu.
Pernah seekor ular cobra besar hampir mengigitnya, ia berhasil membunuh dan
ular itu dijadikan lauk untuk makan malam kami. Sebenarnya aku belum pernah
memakan hewan-hewan tersebut, namun atas nama sebuah pengalaman dan
keterbatasan aku pun memilih untuk mencobanya. Aku lebih suka jika Shogun
menangkap ikan atau burung sebagai pelengkap makanan santap malam kami.
tentunya santap malam lebih berasa jika ditambah cerita nyata berbau dongeng
dari seorang Shogun.
Aku ingat ketika itu, aku mendapat SMS dari kantor bahwa ada
gempa besar di Padang. SMS baru masuk jam 3 pagi keesokan harinya. Dengan raut
cemas, kami pun bergegas keluar hutan menuju ibukota kecamatan untuk menonton
berita gempa di televisi, maklum di kampung terdekat tidak ada listrik. Raut
sedih juga terpancar di wajah Shogun ketika aku menunjuk di layar televisi
bahwa gambar rumah yang sudah runtuh berserakan itu adalah rumahku di kampung.
Hari itu kami tidak bekerja seharian penuh, kami duduk-duduk
disebuah warung sambil bertukar cerita. Sesekali aku terus menghubungi nomor
sanak saudara di kampung, namun selalu gagal, mungkin terkendala akibat
kerusakan gempa. Aku berusaha tetap tenang.
Shogun menanyakan padaku tentang ransanya gempa, sejak nafas
melewati hidung ia tidak pernah merasakan goyangan gempa. Memang untuk daerah mereka,
gempa menjadi hal langka, kecuali bencana dan peristiwa angin badai atau angin
puting beliung sangatlah sering terjadi.
Entah niat menghibur, mungkin juga Shogun benar-benar ingin
tahu bagaimana hebatnya goncangan gempa.
Akhirnya aku memberi tahu Shogun, asalkan dia mau mengikuti
setiap perintah saat melakukan sebuah simulasi gempa nantinya. Shogun bersetuju
dengan persyaratan itu. Kami pun meminjam sebuah kursi warung, aku menyuruh
Shogun berdiri tegak sambil memejamkan kedua matanya. Setelah beberapa puluh
detik Shogun berkonsentrasi, tanpa aba-aba aku menguncang kuat-kuat kursi
tempat Shogun berdiri. Shogun pun terkejut dan jatuh tersungkur pucat kelantai.
“seperti itu kah gempa?”
“ya, dahsyat kan?”
“lihat ulah kita, gelas itu pecah berantakan, makanan jadi
berserakan”
“untung saja kita tidak mematahkan kaki kursinya” Shogun
tertawa keras
Pemilik warung terheran-heran dengan tingkah kami, yang
seolah ke kanak-kanakan.
Itulah aku dan Shogun
Menjelang senja berakhir, aku rogoh HP dalam saku celana
sebelah kanan, aku ingin menelponnya. Tentunya aku harus menghubungi nomor Pak
Neba dulu, beliau anak pertama Shogun.
Untuk menghubungi Shogun memang melalui HP anak nya, karena dari dulu
Shogun memang malas untuk memainkan alat komunikasi itu. Apalagi untuk
men-cash-nya harus ketempat yang ada listriknya, bikin repot katanya.
Setelah mencoba menghubungi ternyata nomor itu sudah tidak
aktif, dan beberapa nomor lainya berlaku sama.
Rasa rinduku pada sosok Shogun makin kuat. Hanya sekedar
untuk bertanya kabar dan bertutur sapa. Sejak meninggalkan dusun milik Shogun
di Januari 2010 dan memutuskan untuk
kembali menetap di Padang, hingga saat ini aku tidak lagi pernah berkunjung ke
negeri bumi khatulistiwa itu.
Malam ini rinduku sedikit terobati, akhirnya aku bisa
menghubungi Widia, gadis yang pernah memasak untuk kami jika dia libur
sekolah. Aku menanyakan tentang kabarnya
dan keadaan dusun mereka, tak lupa kabar Shogun merupakan tetangga beda dusun
dengannya. Kami tidak dapat becakap-cakap lebih banyak, Widia membisikan pelan
bahwa suaminya sudah merengek-rengek….
Aku baru sadar kalau ini malam minggu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar