Rabu, April 21, 2010

Keberadaan Tuhan



Pembuktian tentang keberadaan Tuhan bisa dijelaskan dengan berbagai argumen, empat argumen yang paling terkenal antara lain ;
• Argumentasi Ontologis
• Argumentasi Kosmologis
• Argumentasi Teleologis atau argumentasi from design
• Argumentasi Moral

Dalam ruangan yang sempit ini, kita akan ambil salah satu argumen dengan beberapa tokoh pemikirnya, kita mulai saja dari argumentasi kosmologis. Bagaimana argumentasi kosmologis menjelaskan tentang bukti keberadaan Tuhan?

Menurut Ibnu Sina keberadaaan alam ini adalah sesuatu yang mungkin ada (possible beings), yang keberadaannya memiliki keterkaitan sebab-akibat dengan keberadaan ada-ada yang lainnya. Keterkaitan ini tidak mungkin menjadi suatu rangkaian tak terbatas, sebab pasti ada sesuatu yang adanya tidak disebabkan lagi oleh sesuatu diluar dirinya sebagai “Penyebab Utama” atau a first cause. Ada yang satu secara esensial ini menghasilkan suatu akibat langsung, yaitu “intelejen”.

Menurut Ibnu Sina berpikir adalah mencipta dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh “pemikir yang niscaya” yaitu Tuhan karena hanya Tuhanlah yang Ada Mutlak.
Menurut Thomas Aquinas yang nampaknya sangat terpengaruh dengan Aristoteles, bahwa keberadaan Tuhan bisa dibuktikan dengan “lima jalan”.

Pertama dengan berdasarkan teori “gerak”. Berdasarkan teori ini, hal-hal yang ada bergerak dimana nampak perubahan dari potensial ke aktual, yang tidak bisa menjadi “regresi tak terhingga”, karenanya haruslah ada gerak pertama yang mana dirinya sendiri tidak digerakkan, yaitu Tuhan.

Kedua, sebab efisien. Ada sebab efisien didalam dunia (sebab penghasil). Tidak ada yang menjadi sebab efisien dari dirinya sendiri, dan tidak mungkin ada suatu regresi tak terhingga darinya sebab jika tidak ada sebab pertama, maka tidak mungkin ada rangkatan sebab akibat. Karena itu, harus ada “sebab efisien pertama” yang tidak disebabkan oleh yang lain. Dan Dia adalah Tuhan.

Ketiga, didasari pada posibilitas dan necesitas. Ada yang muncul berada dan berakhir untuk ada. Tetapi tidak semua ada dapat menjadi ada yang mungkin (posible), karena apa yang menjadi ada hanya mungkin terjadi lewat apa yang telah ada (tidak ada sesuatu yang tidak disebabkan). Karenanya pasti ada “ada” yang keberadaannya niscaya (tidak pernah menjadi dan tidak pernah berakhir untuk ada). Ada seperti ini adalah Tuhan.

Keempat, didasari pada tingkat-tingkat (gradiation) pada benda-benda. Ada tingkat-tingkat berbeda di antara yang ada (yang satu lebih sempurna daripada yang lain). Ada hal-hal yang menjadi tidak kurang dan tidak lebih sempurna apabila tidak ada yang sempurna total. Karena itu pasti ada “ada yang sempurna” atau perpect being, yaitu Tuhan.

Kelima, didasari pada adanya tujuan dunia (governace of the world). Benda-benda, seperti halnya benda-benda angkasa, bergerak ke suatu tujuan, tentu saja untuk mencapai hasil yang terbaik. Hal ini tidak mungkin apabila tidak ada “ada yang berintelejen”, sebagaimana ada sebuah panah yang meluncur yang dilepaskan pemanah. Maka pastilah “ada intelejen” untuk segala ada di dunia ini, yaitu Tuhan.

Argumentasi kosmologi ini mendapat kritik tajam dari filsuf Inggris, David Hume (1711-1776). Filsuf yang dikenal sebagai penganjur aliran skeptisme ini berpendapat bahwa apa yang direkomendasikan oleh argumentasi kosmologis memiliki kelemahan besar dari penalarannya.

Argumentasi tersebut mengacaukan konsep sebab dan akibat. Menurut Hume, kesimpulan yang ditarik dari akibat yang terbatas, menghasilkan sebab yang terbatas pula. Tidak mungkin lebih jauh dari itu. Maka konsep Tuhan dalam argumentasi kosmologis adalah terbatas. Tidak ada cara untuk menentukan prinsip kausalitas, sebab sesungguhnya penalaran ini hanya berdasar pada suatu kebiasaan saja (habit). Kita hanya dapat mengetahui bahwa Z terjadi setelah Y, tapi apakah benar bahwa Z itu disebabkan oleh Y, kita tidak ketahui. Alam semesta ini secara keseluruhan tidak membutuhkan suatu sebab, kecuali bagian-bagian daripadanya saja.

Kant yang sebagaimana disebut dipengaruhi oleh filsafat Hume, juga mengkritik argumentasi kosmologis. Baginya, dunia noumena (esensi) tidak bisa disimpulkan dari dunia fenomena (gejala). Dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan eksistensil sebagai hal yang niscaya adalah tidak mungkin, sebab hal itu hanya mungkin dalam pernyataan logika. Argumentasi kosmologis ini memiliki kontradiksi-kontradiksi metafisik.

Kritik Hume dan Kant bukanlah akhir dari problem argumentasi kosmologis. Pemikir-pemikir seperti Richard Taylor, Stuart C. Hackett, dan James Ross dapat disebut pembela argumentasi ini, dengan pertimbangan bahwa keberadaan Tuhan memang bukanlah hasil dari argumentasi, tapi paling tidak dengan argumentasi kosmologis diperlihatkan bagaimana dasar-dasar logis dalam kaitan antara suatu keberadaan yang terbatas dengan ada yang tidak terbatas.




*sumber bacaan: http://parapemikir.com






Tidak ada komentar: